Rabu, 21 Oktober 2015

Nilai Kehidupan dalan Konteks Sejarah Negeri Adat Tananahu


Peradaban manusia mengalami evolusi melintasi ruang dan waktu yang cukup panjang, membentuk sebuah sejarah yang diyakini menjadi pedoman bagi pemiliknya untuk menata hidup di masa kini (kekinian) dan masa yang akan datang (keakanan). Dari sejarah orang belajar tentang apa yang harus dihindari dan apa yang mesti dipertahankan, menjadi pedoman membangun kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana Theodore Rosevelt mengatakan “the more yo know about the past, the better prepared you are for the future”. Begitulah pentingnya sebuah sejarah. Saya tidak bermaksud menguraikan sejarah negeri Tananahu di sini. Akan tetapi catatan ini saya buat sebagai untuk merefleksikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalam sejarah dan terungkap pada proses pendokumentasian yang sementara dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Negeri Tananahu.
Tananahu adalah sebuah negeri adat yang terletak di pesisir Teluk Elpaputih, Kabupaten Maluku Tengah. Saat ini dipimpin oleh seorang Ina Latu yang juga baru saja terpilih menjadi ketua Majelis Latupati Maluku Tengah. Saya mengenal negeri ini sejak 20 tahun lalu, ketika masih menjadi Mahasiswa Unpati, Ambon. Awal bulan ini saya berkesempatan berkunjung ke sana dan menemukan keadaan yang jauh berbeda dari 20 tahun lalu. Negeri ini berkembang cukup pesat, setidaknya terlihat dari jumlah anak negerinya yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, dan capaian pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Yang paling menarik buat saya adalah kesadaran pemerintah negeri dan masyarakat untuk mendokumentasikan cerita dan nilai-nilai historis mereka.
Sejalan dengan pikiran Rosevelt, masyarakat Tananahu saat ini sadar sungguh akan pentingnya pendokumentasian sejarah negeri, sebagai persiapan untuk masa depan. Sejarah hidup para leluhur Tananahu dituturkan dari generasi ke generasi, lewat cerita-cerita orang tua ke anak, Tete dan Nene ke cucu-cucu. Penuturan dari generasi ke generasi itu tentu memiliki kerawanan untuk mengalami pembiasan, yang mungkin saja lahir dari berbagai kreativitas dan interpretasi. “Kami, orang tua di zaman ini, ingin mendokumentasikan cerita-cerita itu secara tertulis, untuk menjadi sumber pengetahuan bagi anak – cucu, supaya anak cucu ini mengenal sejarah negerinya dari sumber yang satu” kata beberapa tokoh masyarakat Tananahu ketika mulai mendiskusikan penulisan sejarah negeri mereka. Menurut saya ini ide yang sangat luar biasa cemerlang dan menunjukan niat hati yang kuat untuk memelihara bukan hanya story tetapi terutama history.
Membaca draft buku sejarah, saya terkesima dengan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalammya, yang lahir dari kearifan para leluhur membangun dan mempertahankan kehidupan. Sampailah saya pada satu titik simpul, bahwa pendokumentasian ini sesungguhnya tidak hanya sekedar mencatatkan sejarah dan budaya. Mereka mencapai lebih dari itu, yaitu mendokumentasikan nilai-nilai kehidupan sebagai bekal bagi anak-cucu.  
Saat ini, Negeri Tananahu terdiri dari 4 soa yaitu Soa Tananahu, Soa Apisano, Soa Awaya dan Soa Hilatesia. Nenek moyang mereka berasal dari beberapa tempat di Pulau Seram, antara lain dari Latea dan Huamual. Mereka harus keluar dari negeri lama mereka masing-masing karena ingin meyelamatkan diri dari perang antar suku yang marak pada zaman itu. Ini menggambarkan penghargaan dan tanggung jawab atas hidup. Pola pergerakan keluar mencari tempat tinggal baru secara berkelompok menggambarkan kesatuan hati yang menjadi modal hidup bermasyarakat.
Selanjutnya, dalam kisah hidup sejak ditemukannya puncak Koli-Kolia hingga berakhir di Pesisir Pantai Teluk Elpaputih, dan ada juga tete nene moyang yang tidak melewati Koli-Kolia namun langsung menuju pesisir dari asal yang sama, Huamual, sarat dengan pola-pola pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan yang sangat arif.
Terpotret juga disana satu gambaran kematangan leluhur Tananahu dalam membangun satu kesatuan masyarakat dan bersosialisasi. Kematangan itu terlihat dari pengaturan pemerintahan sejak turun dan menyatu ke pesisir, apalagi setelah intervensi penjajah masuk dengan berbagai dampaknya bagi penderitaan rakyat.
Ketika masuk penjajahan, masyarakat sangat menderita, terutama dengan tak-tik penguasaan wilayah yang tidak manusiawi yaitu dengan membumihangusan kampong ataupun mengusir tuan tanah dari tanahnya secara paksa. Ketika orang Apisano diusir oleh Jepang, kampong Rumalait dibakar atas perintah Tuan Wengkel (orang Belanda) dan orang Awaya diusir oleh Belanda, Tananahu menjadi tempat dimana mereka mendapatkan perlindungan dan mendapatkan lokasi pemukiman baru. Hal ini merupakan manifestasi dari solidaritas kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya.
Proses kepemimpinan dan pemerintahan yang mengalami adaptasi dengan perkembangan sosial kemasyarakatan dari setiap soa atau kampong (Tananahu, Apisano, Awaya dan Hilatesia), pun menarik untuk disimak. Dimulai dari kepemimpinan secara mandiri di setiap kampong, kemudian Apisano dan Tananahu menyatu dengan pusat pemerintahan berada di wilayah Apisano. Selang beberapa waktu, dengan pengusiran oleh Belanda, orang Awaya bergabung dan masuk dalam pemerintahan Tananahu di Apisano. Setelah itu Hitalesia masuk pula bergabung. Setiap penggabungan terjadi secara natural berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara pemimpin kampong. Hingga pada tahun 1948, Pemerintahan yang terpusat di Apisano kemudian dipindahkan ke Kampong Tananahu.
Pola perubahan sistim pemerintahan yang sangat unik dipraktekkan oleh keempat negeri di sana. Mereka mungkin secara genealogi berbeda, tetapi sejarah perjuangan mempertahankan hidup di tanah yang menurut mereka baik untuk membangun kehidupan menjadi perekat dan pengikat hubungan sosiologis. Merger demi merger (bukan pemekaran demi pemekaran), dan kemudian pengalihan pusat pemerintahan yang semuanya terjadi hanya atas kesepakatan politik yang berbasis pada kearifan dan kebijaksanaan para leluhur dan pendahulu.
Mereka bukan lagi empat, tetapi satu Negeri adat yang berdaulat atas tanah wilayah petuanan yang membentang dari batang Gunung Lumute di utara hingga Laut Elpaputih di selatan, dari Kali Ruwisi di timur hingga kali Eleuw di barat. Sistim pemerintahan dikelola secara demokratis diantara keempat soa.
Para leluhur meninggalkan pelajaran hidup orang basudara yang sangat berharga. Walaupun datang dari asal yang berbeda, Latea dan Huamual dan mungkin dari daerah lainnya juga, namun keterikatan kasih persaudaraan yang telah dibangun oleh para leluhur telah membentuk sebuah masyarakat Tananahu yang kuat secara historis, sosial dan pemerintahan, dengan didukung oleh kekayaan kearifan budaya maupun sumberdaya alam yang sungguh kaya. Semua ini perlu dijaga untuk diwariskan kepada anak-cucu yang akan meneruskan kehidupan dan peradaban orang Tananahu ke masa yang akan datang.
Bila masyarakat telah memiliki kesadaran itu, seyogianya pemerintah tinggal mendukung pelestarian sejarah, budaya dan sistim sosial yang telah dibangun dan akan terus dipelihara. Bukankah itu kewajiban negara dalam kerangka pikir treaty-treaty internasional terkait dengan hak-hak sipil, hak ekonomi sosial dan budaya? 

Alangkah naifnya jika pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan atas pembangunan dan kepentingan apapun yang malah menghancurkan tatanan sosial budaya yang ada yang dengan sendirinya melecehkan nilai-nilai hidup yang terkandung didalamnya, menghancurkan harapan hidup rakyatnya ke masa depan yang lebih baik di tanah pusaka nenek moyangnya.

Sabtu, 12 September 2015

Rindu namanya


Wajah bundar benderang, rembulan namanya,
Senyum pada ku di sini…
Kian kami bertatapan, kian kuat muncul satu rasa…
Rindu namanya
Hmmmm…. dia mengajariku merindu

Rindu itu pada kasih Sang Kuasa,
Yang lalu membawaku duduk di atas dermaga kayu ini
bersama seorang sahabat,
Di bibir pantai Teluk Ambon,
beberapa mil jauhnya dari ujung Tanjung Alang
Kami terbawa takdir kerjakan pelayanan kemanusiaan bagi korban konflik,
Beberapa jauh dari rumah-rumah kami

Kumainkan pena pilot pinjaman dari kawan, 
pada salah satu halaman kosong buku modul pendampingan yang aku buat sendiri,
rangkaikan kata dari rindu

Dia di sampingku diam menatap seberang
mungkin menghitung lampu-lampu yang berjejer dari negeri-negeri
pesisir tanjung Nusaniwe yang membentang sana
tak sedikit pun bergeming ke kiri dimana ada kilauan lampu-lampu di kota Ambon
lurus dan entah apa di kepalanya

Empat kaki menggelantung di hujung dermaga,
tak tersentuh kulit laut, hingga hening….
Tiada bising lalu lalang pengguna jalanan raya
Tiada gaduh musik dari rumah penduduk
Tiada berisik tingkah bocah bermain girang ataupun menangis merajuk
Tiada semua
Hanya hening... yang teramat sepi...
Dalam, merasuk satuan-satuan sel tubuh
Dan pantulan cahaya rembulan dari kulit laut pun menusuk sampai ke sum-sum


Beberapa meter dari dermaga ini
Ada gedung bersapu cat putih
Di situ mengungsi seratusan keluarga dari Negeri Hila/Kaitetu
Terbersit tanya:
Adakah mereka, para pengungsi, menikmati malam ini seperti kita?
Atau paling tidak, adakah yang sanggup
Menatap wajah bundar sana dan meresapi beningnya

Wajah bundar mengajariku dari atas sana,
tentang sebuah rasa tuk rasai susah mereka…. sesamaku, yang pasti
Rindu pada benderang asa akan esok cerah
Rindu pada beningnya hati dalam damai
Rindu pada heningnya desah tanpa susah
Yah…. namanya rindu, tinggal merindu


Goresan: Lusi, Ekkaleo Charismata Team

Malam purnama di Hatiwe Besar, 10 Oktober 1999

Selasa, 18 Agustus 2015

Pelajaran dari pertemuan dengan seorang perempuan Kei

Sering sekali terjadi perjumpaan yang tidak kita duga. Seperti semalam, ketika saya berjumpa dengan seseorang… perempuan asal Kei, Maluku Tenggara. Wajahnya sangat khas perempuan Maluku, tetapi saya tidak mengenalinya, sampai dia mengingatkan saya tentang siapa dirinya.

“Ini ibu Lusi kan?” sapanya mengawali dan kemudian menyambung dengan pertanyaan lain untuk lebih meyakinkan dirinya: “ibu lusi yang dulu di Bawaslu kan?” Saya yang sedari sapaan awal menyambutnya dengan senyum dan anggukkan penuh hormat kepadanya menjadi merasa bersalah karena tidak mengenali perempuan yang nampaknya mengenali saya dengan baik. “Jang marah Ibu, beta kayaknya lupa, ibu tolong kasih inga, beta deng ibu ketemu dimana e?” Saya mencoba mencari tahu siapa beliau dengan cara dan dialek khas Ambon yang menurut saya cukup santun. Beliau pun menjawab dan menceritakan siapa beliau. “…. Beta di KPU Kabupaten Maluku Tenggara. Ibu di sana waktu katong pemilihan bupati tahun lalu…” Saya baru teringat, bahwa sesungguhnya saya kenal benar siapa beliau.

Si Ibu yang memang tipikal seorang yang talk active menceritakan kepada kami (ketika itu saya sedang bersama dengan seorang kawan), perihal kerja saya dalam melakukan supervisi pengawasan di tempat beliau, dimana kami pertama kali bertemu, tahun 2013 lalu. “waktu itu ibu Lusi satu-satunya perempuan, di tengah-tengah massa ratusan laki-laki….” Tuturnya. “kondisi panas waktu itu, tapi ibu Lusi memang….” Urainya kemudian. Kami seperti sedang mendengar rekaman satu perstiwa yang diputar ulang.

Saya hanya tersenyum. Kawan saya pun demikian. Tetapi sudah tentu, dibenak saya pun memori itu bermunculan. Saat genting pada pelaksanaan tahapan Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Maluku Tenggara, yang belakangan diketahui sebagai sebuah rekayasa politik yang terbilang canggih. Rekayasa yang diskenariokan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, dimana Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) di Kabupaten itu pun termasuk di dalamnya. Tergambar ulang bagaimana saya hampir saja menangkap tangan bandit-bandit politik itu dalam scenario busuk untuk kepentingannya. Terbersit di ingatan, bagaimana dengan tegasnya saya harus mengendalikan jajaran pengawasan ketika itu dan seperti terngiang di telinga saya gaya para bandit berusaha merasionalkan situasi dengan berbagai dalil sehingga perbuatan kebanditannya yang sesungguhnya menggelikan itu tertutupi.

Kalau kawan saya mengamati senyuman saya, dia mesti menangkap sebuah senyuman kebanggaan. Bangga bahwa saya dilihat sebagai perempuan tangguh dalam kancah pengawalan proses demokrasi di daerah itu.

Saya, ketika itu adalah satu-satunya perempuan di Penyelenggara Pemilu di tingkat Propinsi, tetapi saya mampu memainkan peran yang cukup signifikan. Saat tahapan puncak dari proses pemilukada, saya tidak duduk manis di Ambon. Saya justru ke daerah yang paling rawan dalam peta potensi kerawanan penyelenggaraan pemilukada Propinsi Maluku. Dan puji Tuhan, saya bisa menjadi seseorang yang cukup berarti di sana.


Apa yang saya petik dari pertemuan saya dengan Perempuan Kei semalam adalah, orang akan mengingat sesuatu yang kita lakukan, apapun itu. So, lakukanlah selalu hal-hal baik. Akan ada masanya, dimana apa yang baik itu akan dituturkan dengan cara yang tidak kita duga, dan kita akan mengenangnya dalam rona kebanggaan. 

Senin, 27 Juli 2015

Kolaborasi Anak Antar Komunitas di HAN 2015, sebuah refleksi


Sejak beberapa waktu lalu, Kota Ambon diramaikan dengan berseliwerannya isu tak sedap terkait hubungan sosial antar warga. Hal mana menunjukan masih ada sekelompok manusia yang masih ingin mencoba merongrong ketentraman hidup warga kota ini. Isu-isu itu memunculkan kekuatiran dan ketakutan warga, mengingat kita semua di kota dan daerah ini punya pengalaman pahit dari konflik 1999. Syukurlah bahwa orang semakin sadar akan pentingnya menghindarkan komunitas bentrokan sehingga setiap isu disikapi secara dewasa dan arif. Syukurlah juga bahwa dalam setiap komunitas seperti Gunung Nona, Air Salobar, Batu Gantung, Waringin, Talake, Waihaong dan lainnya ada figur-figur yang dapat memainkan peran untuk merasionalkan situasi dan menenangkan warganya. Walaupun tidak sampai terjadi hal-hal bernuansa kekerasan antar warga, namun kekuatiran itu sempat membuat sebagian orang menjadi ragu – ragu untuk berbaur dengan komunitas yang berbeda dengannya.

Pemerintah Propinsi Maluku dengan sigap mengambil langkah mendialogkan upaya-upaya strategis untuk menyikapi hal tersebut, mencegah berubahnya isu menjadi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan . Demikian juga Pemerintah Kota Ambon. Dialog-dialog itu dibangun di tingkat elit-elit pemerintahan dan keamanan.

Lain halnya dengan gerakan masyarakat sipil. Yayasan LAPPAN, salah satu lembaga non pemerintah berbasis masyarakat sipil,  mendorong terbangunnya saling percaya antar warga dengan menggelar temu anak komunitas dalam rangka perayaan Hari Anak Nasional. Temu anak itu diselenggarakan pada tanggal 25 Juli 2015, mengambil tempat di gedung gereja lama Jemaat Betabara Kayu TIga, Ambon. Hadir dalam kegiatan itu anak-anak dampingan LAPPAN dari Air Salobar, Air Besar, Lorong Andreas Ahuru dan Kayu Tiga sendiri. Air Salobar dan Air Besar adalah komunitas muslim sedangkan Lorong Andreas dan Kayu Tiga adalah komunitas Kristen.

LAPPAN mengemas temu anak itu dalam bentuk dialog inspiratif antara anak dengan Tokoh Perempuan yaitu Ibu Maggie Parera SH, MH, salah satu Jaksa di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Ibu Onna Far-far, satu dari empat perempuan anggota DPRD Kota Ambon periode 2014 – 2019. Dialog itu diselingi dengan pentasan atraksi seni dari setiap komunitas.

Mereka saling berbaur, bermain dan berdiskusi bersama. Anak-anak ini berdialog dengan ibu Jaksa tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam kehidupan mereka di rumah, di lingkungan temapt tinggal dan di sekolah. Ibu Jaksa memberikan penjelasan tentang hak anak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, tentnag undang-undang perlindungan anak dan tentang sistim peradilan anak. Walaupun bukan merupakan informasi yang baru bagi anak-anak komunitas ini, namun mendiskusikannya langsung dengan ibu Jaksa sebagai Aparat Penegak Hukum memberikan mereka pengalaman yang baru.

Dengan ibu Onna Far-far, anak-anak mendialogkan kesulitan-kesulitan mengakses fasilitas public seperti anak lorong andreas mengeluhkan tidak adanya mobil angkutan umum di daerah tempat tinggalnya yang sehingga orang tua harus membayar mahal untuk ke sekolah setiap harinya. Anak dari Air Besar yang mengeluhkan kesulitan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika kesulitan-kesulitan seperti itu dikemukakan oleh orang tua, mungkin hal itu kedengarannya biasa-biasa saja. Tetapi ketika keluhan itu keluar dari bibir mulut anak-anak usia SD dan SMP secara polos tanpa rekayasa, hal ini tentu sesuatu yang luar biasa. Mereka  merasakan kesulitan itu sehari-hari, menyimpannya dan kemudian begitu ada kesempatan bertemu dengan figure anggota DPRD Kota mereka tergerak sendirinya untuk menyuarakan.

Dengan atraksi-atraksi seni, selain mereka mendapatkan hiburan dalam bentuk sederhana, mereka belajar untuk saling memberikan penghormatan atas atraksi-atraksi seni berbasis Muslim dan Kristen yang ditampilkan. Inilah aspek terpenting yang perlu terus dikembangkan yaitu menanamkan benih saling menghormati dan menghargai perbedaan yang dimiliki setiap orang dan setiap kelompok dalam masyarakat kita.

Menguatnya orientasi politik di negara ini ke level komunitas yang membuka ruang-ruang eksploitasi isu keberagaman untuk kepentingan politik, apalagi bila perkembangan pikiran-pikiran primordial tidak dapat dikelola dengan baik atau malah dipolitisir. Hal ini memunculkan kekhawatiran kelompok civil society yang melihat sebuah tantangan besar menghadang bangsa ini di masa depan. Tantangan itu adalah bagaimana membangun imunitas masyarakat terhadap konflik kepentingan dalam heterogenitas dan dinamika politik yang ada; Olehnya, sejak dini kita sudah harus memikirkan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketahanan sosial dan integrasi komunitas dalam berbagai keberagaman yang ada. Pendampingan anak sebagai pemilik masa depan adalah salah satu segmen strategis untuk itu. Hal ini yang mendorong LAPPAN untuk merayakan HAN 2015 dalam format demikian, dan berkomitmen untuk terus mendorong kegiatan-kegiatan berbasis komunitas dalam berbagai bentuk.

Merefleksi apa yang terjadi di Kota Ambon belakangan ini dan komitmen masyarakat sipil di HAN 2015, menurut kami pemerintah mestinya mendorong dan memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan kolaboratif berbasis komunitas seperti ini. Tidak hanya berhenti pada dialog-dialog populis yang sesungguhnya tidak menyentuh langsung eksistensi dan kebutuhan masyarakat atau mungkin akan panjang jalannya untuk sampai ke masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini akan membangun benteng ketahanan sosial dari masyarakat, yang pada akhirnya akan terbangun mekanisme pengelolaan isu di kota ini. Semoga demikian.


Sabtu, 25 Juli 2015

Mereka Korban, Bukan Pelaku

Melihat judul tulisan ini, pembaca mungkin berpikir tentang insiden - insiden sosial antar warga yang terjadi di Ambon belakangan ini ataupun peristiwa kekacauan keamanan tertentu. Bukan demikian. Tulisan ini adalah tentang sebuah insiden kemanusiaan yang menimpa 3 perempuan asal Kabupaten Aru. Mereka didakwakan telah melakukan perbuatan melawan Undang-undang tindal pidana korupsi, terkait penyelenggaraan MTQ tingkat Propinsi Maluku tahun 2011 yang berlangsung di Kota Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru.

Tiga perempuan ini adalah Istri almarhum mantan Wakil Bupati Kabupaten Kepulaian Aru (Ibu Heni Djabumona), Ibu Yeri Larwui dan Ibu Reny Awal. Ibu Heni masuk panitia sebagai ketua bidang konsumsi karena beliau pada saat penyelenggaraan MTQ adalah Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kepulauan Aru, merepresentasi perempuan Gereja Protestan Maluku (GPM). Ibu Yeri adalah Ketua Komisi Perempuan Klasis GPM Pulau-Pulau Aru sedangkan Ibu Reny masuk mewakili Organisasi Majelis Ta’lim Nurul Hayat Dobo. Mereka tak pernah menyangka, keiklasan dan niat hati yang tulus untuk bekerja menyukseskan MTQ akan berbuntut pada jeratan hukum. 

Rasanya semua orang yang di bumi Jargaria dan di bumi seribu pulau ini akan mengakui MTQ tahun 2011 di Dobo itu berjalan sukses. Kesuksesan itu tidak lepas dari kerja keras ketika perempuan kawan kami ini dalam mengatur urusan makan minum semua orang yang terlibat. Pengelolaan dana untuk bidang kerja mereka seluruhnya dilakukan berdasarkan arahan-arahan dari panitia inti yaitu Ketua Umum, Ketua Harian, Sekretaris dan Bendahara Panitia. Menurut SK Gubernur, bidang tiap-tiap bidang tidak memiliki sekretaris dan bendahara. Akan tetapi demi mengelola kerjanya secara baik, perempuan-perempuan di bidang konsumsi menunjuk sekretaris dan bendahara panitia “bayangan”, semata-mata untuk memastikan semua pekerjaan bidang konsumsi terkelola dengan baik. Namun, sekali lagi, tanpa disangka kesuksesan pengelolaan itu justru menggiring mereka pada urusan hukum hingga kini.

Panjang sekali perjalanan proses hukum yang kawan bertiga ini jalani, yaitu sejak bulan Desember 2012 ketika satu LSM dadakan di Aru memasukan laporan ke Bareskrimsus Polda Maluku. Mereka pun sempat ditahan tanpa kepastian hukum di Rutan Polda Maluku selama 120 hari, dan pengembalian uang jaminan Rp. 100.000.000 yang mereka bayarkan ke Bareskrimsus belum mereka terima hingga kini. April 2013 mereka dibebaskan. Akan tetapi 17 bulan kemudian mereka dipanggil oleh Pengadilan Negeri Ambon.

Mereka pun memulai babak baru proses peradilan, yaitu sejak 20 November 2014. Sejak itu mereka dengan taat mengikuti setiap sesi persidangan. Hingga tulisan ini dibuat, telah terlaksana 25 kali persidangan. 15 kali sidang diantaranya yang dijadwalkan pada kurun waktu 8 Januari 2015 – 30 April 2015  dengan agenda mendengar keterangan saksi, ditunda karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak menghadirkan saksi yang telah memberikan keterangan dalam BAP di kepolisian; Dan selama kurun waktu itu pun mereka tidak pernah absent dari persidangan.

JPU mendakwa mereka melanggar Pasal 3 UU 31 tahun 1999 dan pada tanggal 18 Juni 2015 mengajukan tuntutan pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Dua hari setelah itu pembacaan tuntutan itu Tuhan mempertemukan saya dan kawan-kawan (sekelompok aktivis perempuan) dengan ketiga kawan ini.

Kami langsung mencium aroma busuk kriminalisasi dari penuturan mereka di pertemuan pertama kami itu. Sangatlah disayangkan bahwa pertemuan itu terjadi begitu terlambat, karena tuntutan JPU telah dibacakan. Padahal proses penyidikan yang tidak objektif dan tidak tuntas masih dapat dipersoalkan sebelumnya. Tetapi kami berkomitmen melakukan apapun upaya penguatan yang dapat kami berikan sebagai bentuk solidaritas.

Pada tahapan pembelaan, di tanggal 2 Juli, kami mendorong 3 kawan kami ini untuk membuat pembelaan (pledoi) pribadi sebagai principal dalam perkara, melengkapi materi pledoi yang dibuat oleh Penasehat Hukum mereka. Dalam Pledoi principal itu, 3 kawan kami inimengungkap semua fakta-fakta hukum maupun fakta humanis yang terkandung di dalam perkara yang menjerat mereka. Hal mana mestinya diungkap oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam proses-proses hukum sebelumnya, semisal dalam penyelidikan dan penyidikan. Fakta-fakta itu pun harus dapat diungkap secara langsung dalam proses persidangan sebelumnya, andaikan JPU dapat meghadirkan saksi-saksi terkait.

Tanpa bahasa hukum, dalam pledoi mereka membantah semua yang dituduhkan dengan segala dalil bahwa mereka telah mengakibatkan kerugian negara. Menurut mereka, keterlibatan mereka dalam panitia justru menyelamatkan uang negara dari tangan orang-orang tertentu atau istri-istri pejabat yang sudah terbiasa memanfaatkan uang negara/daerah milik rakyat untuk kepentingan pribadi seperti jalan-jalan ke luar daerah dengan tujuan yang tidak jelas. “Kami perempuan biasa, suami kami bukan pejabat, tetapi kami hidup di Aru selama puluhan tahun, sehingga mengetahui dengan benar sepak terjang pejabat-pejabat dan istri-istri mereka yang suka menghambur-hamburkan uang rakyat dan kemudian membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. Kami tidak punya moral seperti mereka”, keluh mereka dalam pledoi.

Setelah pembacaan pledoi, JPU berkesempatan menyampaikan Repliknya. Dalam replik tersebut, tidak sedikitpun JPU menyinggung materi Pledoi dari Prinsipal yang juga telah mereka bacakan di sidang tanggal 2 Juli. JPU tidak mempertimbangkan aspek atau fakta-fakta humanis dari perkara yang disampaikan oleh para principal dalam pledoi mereka.

Replik JPU semakin tegas menyoal kerugian negara yang diambil dari hasil audit investigasi BPKP sebagai lembaga pengawas keuangan negara, yaitu tentang pembelian ikan yang katanya hanya sejumah Rp. 26.800.000,-. JPU tidak menjelaskan rincian pembelian ikan sejumlah itu.
Sementara ada fakta persidangan yang mengungkap pengakuan-pengakuan saksi tentang transaksi pembelian ikan antara bidang konsumsi dengan beberapa orang nelayan. Setelah kami kalkulasikan, jumlah dari transaksi yang diakui dalam fakta persidangan adalah sebesar Rp. 92.500.000,- (Sembilan puluh dua juta lima ratus rupiah). Jumlah ini jauh melebih jumlah temuan BPKP. Dan ini tidak dilihat oleh JPU. Saya tidak tahu, apakah ini tidak terlihat atau sengaja disembunyikan oleh JPU.  

Dengan fakta persidangan yang ditemukan, siapapun dapat mengitung berapa besar “kerugian negara” dalam kasus ini, yaitu sebesar Rp. 11.000.000,- bukan Rp. 76.700.000,- seperti yang didakwakan. Itu pun, menurut kawan bertiga, jika dipanggil saksi-saksi lainnya, selisih Rp. 11.000.000 itu akan ditemukan. Dengan kata lain transaksi pembelian itu ada. Sehingga tidak akan ditemukan kerugian negara. Pertanyaan sederhana muncul di sini, “apa dan siapa sebetulnya yang berada dibalik kasus ini?” Deal politik kah? Uang kah? Krisis moral APH kah? Saya pikir public bisa menilai sendiri.

Ketiga kawan kami ini mengalami kerugian yang luar biasa. Terlepas dari kerugian sosial dan psikologis yang mereka alami, mereka mengakui sangat dirugikan secara finansial. Nilai kerugian keuangan pribadi dan rumah tangga mereka sudah jauh melebihi nilai kerugian keuangan negara sebesar 86.700.000 yang didakwaan kepada mereka.

Mereka tidak pernah absen dari panggilan-panggilan  persidangan. Untuk menghadiri setiap sidang kami menghabiskan paling sedikit Rp. 5.000.000,-; jika dikalikan angka minimal Rp. 5.000.000 dengan frekwensi kehadiran mereka menghadiri 25 kali sidang, total pengeluaran pribadi masing-masing kami sejauh ini adalah senilai: Rp. 125.000.000 (seratus dua puluh lima juta rupiah). Belum lagi pengeluaran pada tahapan pemeriksaan di Polda Maluku termasuk Rp. 100.000.000 uang jaminan penahanan yang sampai sekarang belum dikembalikan kepada mereka dan pengeluaran-pengeluaran lain atas permintaan berbagai pihak yang tak terhitung jumlahnya.  Kerugian pribadi mereka jauh diatas kerugian negara yang dipolitisir dan didakwakan kepada mereka.

Dari sudut pandang lain saya melihat bahwa pemerintah dan masyarakat di daerah ini tidak mengapresiasi jasa dan pengorbanan yang mereka berikan kepada daerah ini dalam menyukseskan penyelenggaran MTQ di Aru. Begitu juga MUI Maluku dan Sinode GPM. Tidak ada yang mengapresiasi bahwa dibalik kesuksesan MTQ itu ada keringat lelah perempuan-perempuan Aru, khususnya ketiga kawan kami ini, yang telah mendorong partisipasi ribuan perempuan Aru, salam – sarane bergandeng tangan dan bahu membahu untuk kesuksesan MTQ dimaksud sehingga mata dunia dapat melihat kerukunan hidup umat beragama di Kepulauan Aru. Ketika tiga perempuan ini TERGIRING dalam proses hukum dengan dakwaan perbuatan criminal yang tidak mereka lakukan, mereka telah mencoba meminta dukungan moriil dari MUI dan Sinode GPM, tak satu pihak pun memberikan respon sebagai wujud kepedulian.

Mereka sudah cukup menghormati proses hukum yang berlangsung, walaupun mereka yakin sungguh mereka tidak bersalah. Mereka justru sangat dirugikan. Mereka pribadi, tetapi juga keluarga terutama anak-anak mereka. Dimana keadilan dari negara ini. Akankah proses peradilan yang sementara dijalani ini memberikan keadilan kepada mereka? Atau malah semakin menimpakan tangga ke atas mereka dan meremukan segala asa keadilan yang mereka dan anak-anak mereka dambakan? Hanya Tuhan yang tahu. Satu yang kami yakini, Mereka bukan koruptor. Mereka korban, bukan pelaku.


Rabu, 22 Juli 2015

Reward bagi 2 Jaksa Sahabat Perempuan dan Anak Maluku

(Tulisan ini adalah hasil telaah performance Jaksa pada lingkup Kejaksaan Tinggi Maluku dalam penegakan hukum dan keadilan bagi perempuan dan anak Maluku; dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa ke 55 tahun 2015. Data diambil dari dokumentasi pendampingan korban oleh LAPPAN)


Pendahuluan
Penegakan hukum merupakan pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti dan akan terus berjalan seiring dengan perjalanan hidup sebuah negara hukum (recht staat).  Penyelenggaraannya terus mengalami perkembangan yang inovatif, terutama semenjak falsafah keadilan yang sesungguhnya secara inherent merupakan roh yang menghidupkan penegakan hukum itu dimaknai secara lebih mendalam, sehingga batasan antara court of law dan court of justice  semakin melebur. Keduanya mesti selalu dapat diberikan ruang yang sama. Apalagi Human Rights dengan berbagai instrumentnya kemudian hadir sebagai salah satu framework penguatan peran institusi-institusi penegak hukum.

Setiap institusi penegak hukum pun selalu berupaya menghadirkan keadilan dan kepastian hukum dalam perspektif yang lebih luas dan mendalam. Upaya mana kemudian sangat bergantung pada pribadi oknum Aparat Penegak Hukum (APH) yang bermoral dan berintegritas. APH yang tidak bermoral dan tidak berintegitas justru hanya akan memunculkan apatisme masyarakat dalam mencari keadilan dan ketidakpastian hukum. Inilah tantangan terbesar yang muncul seiring dengan kemajuan-kemajuan  yang ada.

Aktivis Perempuan Pegiat HAM di Maluku sebagai bagian dari kelompok civil society di daerah ini mengikuti dengan cukup baik proses pemenuhan keadilan dan penegakan hukum yang berlangsung terutama yang terkait langsung dengan komunitas-komunitas dampingan kami yaitu mereka yang dari sisi pengetahuan maupun aksesibilitas tergolong lemah sehingga rentan mengalami multi-layered victimization. Mereka dalam golongan ini adalah perempuan dan anak yang menjadi korban dari berbagai bentuk tindak pelanggaran HAM dalam makna yang seluas-luasnya baik di ranah domestic maupun publik.

Kami mesti  memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada personil APH khususnya para jaksa yang telah mendedikasikan ilmu dan eksistensinya demi keadilan dan kepastian hukum yang menjadi hak korban. Berkenaan dengan itu, perkenankan kami menyampaikan hasil telaah kami terkait personil jaksa yang menurut kami layak diberikan penghargaan oleh institusinya.

Latar belakang Telaah Performance Jaksa
Dokumentasi data kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku memperlihatkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak sedikit perempuan dan anak yang berhadapan dengan tindak pelanggaran hukum sebagai korban, dan berjuang mencari keadilan bagi dirinya lewat proses peradilan. Dalam proses itu, seorang prosecutor atau jaksa berdiri mengatasnamakan negara menuntut pertanggungjawaban pelaku yang berarti berdiri memberikan perlindungan hak korban. Peran Jaksa sungguh tak dapat dielakkan. Sosok Jaksa yang bermoral, berintgritas dan professional menjadi tumpuan harapan dari korban.

Kami yang sering terlibat sebagai pendamping bagi korban merasakan betapa penting dan strategisnya peran Jaksa. Akan tetapi itu pun berpulang pada perspektif dari Jaksa terhadap perkara dan posisi korban di dalamnya. Sayangnya, secara jujur dan objektif harus disampaikan bahwa masih ada oknum Jaksa yang tidak bermoral, yang hilang integritasnya karena ketertarikan pada kepentingan tertentu. Kami menyesali kinerja jaksa yang jelas-jelas menunjukan keberpihakan pada pelaku pemerkosaan anak di bawah umur; juga Jaksa yang meminta korban melepaskan cincin mutiara yang sementara dipakai di jarinya setelah merayu “kasus ini kasus biasa, seng apa-apa”; Jaksa yang memintakan hadiah dari korban untuk perayaan ulang tahun anaknya, dan sikap tidak terpuji lainnya.

Akan tetapi ada pula personil jaksa  yang kepadanya kami harus tunduk memberi hormat karena memiliki sikap yang humanis dan perspektif yang kritis, dilengkapi kemampuan profesionalitas dan mentalitas yang membanggakan. Mereka inilah yang layak disebut “jaksa sahabat masyarakat” yang menjadi tagline kejaksaan akhir-akhir ini. Jumlahnya sangat sedikit. Tetapi pada personil yang sedikit itulah ada harapan penegakan hukum dan keadilan yang lebih baik ke depan. Kepada mereka mesti diberikan reward, walaupun dalam bentuk yang sederhana.
Kami meyakini bahwa reward itu akan menjadi sumber motivasi untuk perbaikan performance jaksa lainnya di waktu mendatang. Oleh karenanya penilaian atau telaah ini dilakukan dan disampaikan kepada Pimpinan Kejaksaan Tinggi Maluku.

Fokus Penilaian
Kami secara spesifik lebih memfokuskan pengamatan kami pada jaksa-jaksa yang menjadi Penuntut Umum dalam kasus-kasus kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, khusus untuk kasus-kasus yang terjadi di tahun 2014 hingga pertengahan tahun 2015 ini.

Selain itu, titik fokus lainnya adalah pada mereka atau jaksa yang tergolong “orang muda”, karena menurut kami pada mereka ini masa depan penegakan hukum dan keadilan di negara ini.
Berbagai teori mengatakan kelompok usia “orang muda” adalah kelompok idealis dan petarung hebat. Tetapi secara kontraversial ada juga yang melihat kelompok ini berisi orang-orang yang sangat vulnerable terhadap berbagai “godaan” untuk berperilaku tidak bermoral dan kehilangan integritas diri karena kemudaannya. Oleh karena itu, ketika menemukan Jaksa dari kelompok “orang muda” yang punya idealism dan mampu menjaga dirinya on the right track dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum, menurut kami perlu diberikan apresiasi. Apresiasi ini diyakini dapat menjadi rambu-rambu yang terus menjaga langkahnya dalam terus berkarier ke depan sebagai Jaksa yang baik.

Metode Telaah
Dalam rangka rewarding itu, kami mengikuti dengan cermat performance para jaksa, mendokumentasikan setiap perkembangan proses dan hasil penyidikan semenjak pelimpahan berkas perkara dari polisi ke kejaksaan, dan seterusnya hingga tiba di tangan majelis hakim untuk disidangkan.  Kami mencermati bagaimana sikap dan perilaku jaksa yang menggambarkan sejauh mana senssitifitas jaksa terhadap kebutuhan korban akan keadilan melalui interaksi yang humanis dalam setiap tahapan penyidikan sampai persidangan; kami menyimak bagaimana mentalitas dan konsistensi jaksa dalam penuntutannya.

Kami tidak menggunakan code of conduct ataupun code of ethics ataupun Tata Krama Adiyaksa ataupun sumpah jabatan dan tools lainnya yang dimiliki oleh institusi Kejaksaan untuk menjaga sikap perilaku dan integritas aparatnya. Telaah yang kami lakukan berangkat dari sebuah defenisi sederhana sosok jaksa yang baik, yaitu jaksa yang dibentuk oleh 4 elemen penting: a). Mentalitas: moral yang baik; b). Profesionalitas: memahami bagaimana menjalankan tugasnya secara professional untuk keadilan dan kepastian hukum; c). Integritas: keselarasan pemahaman, perkataan dan perbuatan; d). Perspektif yang baik terhadap HAM dan secara spesifik Hak Perempuan dan Hak Anak

Menurut saya Keempat elemen ini dapat diukur dengan indikator-indikator  berikut:
1.       Humanis dalam penyidikan dan peradilan
-          Cara pandang terhadap korban
-          Sikap menghormati dan menghargai korban
-          Sikap menghormati dan menghargai keluarga korban
-          Sikap menghormati dan menghargai semua pihak terkait
2.       Tidak punya moral mengharapkan atau meminta  imbalan (gratifikasi) dalam bentuk apapun
3.       Transparan dalam proses penyidikan
4.       Tuntas dalam menggali dan mengungkap fakta-fakta hukum yang terkandung di dalam perkara
5.       Kemampuan menggali dan kejelian mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari sisi pandang atau situasi korban
6.       Tegas dan konsisten dalam menuntut pertanggungjawaban hukum dari pelaku
7.       Komitmen untuk memberikan kepastian hukum
8.       Keterbukaan memanfaatkan peran pendamping korban dari LSM

Hasil Telaah
Setelah melakukan telaah berdasarkan kriteria sebagaimana disebutkan diatas, kami menemukan dua orang Jaksa yang memenuhi kriteria-kriteria dimaksud dan perlu diberikan penghargaan. Mereka adalah:
  1. Lilia Helluth, SH; JPU pada 2 kasus yang menonjol di tahun 2014  hingga pertengahan 2015 yaitu yang pertama kasus pemerkosaan anak oleh pamannya tahun 2014 dan putusannya dibacakan pada bulan Maret 2014. Terhadap pelaku Jaksa Lili memberikan tuntutan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara yang kemudian diputuskan oleh hakim 13 tahun penjara. Kasus yang kedua adalah pemerkosaan bocah 9 tahun oleh 2 pelaku yang juga berusia anak. Sebagai JPU Ibu Lili membuat tuntutan 2 tahun 6 bulan untuk keduanya; dan akhirnya diputuskan oleh hakim dengan 1 tahun 8 bulan untuk pelaku 1 dan 1 tahun 5 bulan untuk pelaku 2.
  2. Maggie Parera, SH, MH; yang menjadi JPU untuk kasus yang tergolong berat di tahun 2015 ini dilihat dari berbagai aspek khususnya aspek sosial dari komunitas asal pelaku dan korban, yaitu perkosaan 4 anak oleh lelaki renta 56 tahun. Jaksa Maggie mengajukan tuntutan maksimal 15 tahun dan akhirnya hakim memutuskan hukuman yang sama dengan tuntutan jaksa.


Kami berharap kedua jaksa yang telah memperoleh capaian kinerja yang demikian baik ini dapat mempertahankan dan malah meningkatkannya dalam terus meniti karier sebagai APH. Tetaplah menjadi sahabat perempuan dan anak korban kekerasan.

Selamat memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke 55 tanggal 22 Juli 2015 khusus kepada seluruh personil Kejaksaan Tinggi Maluku. Semoga visi kejaksaan yang berketuhanan, adil dan manusiawi dapat terwujud di bumi seribu pulau ini.

Minggu, 05 Juli 2015

Belajar dari kasus kriminalisasi dan viktimisasi 3 Perempuan Aru


Kata kriminalisasi berasal dari kata crime atau criminal. Wikipedia menjelaskan bahwa dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi beberapa waktu lalu, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK. Secara sederhana saya memahami bahwa “kriminalisasi” adalah satu upaya menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan criminal. Kata “menjerumuskan” di sini mengindikasikan adanya upaya aktif dari pelaku kriminalisasi terhadap korban, menciptakan sosok criminal oleh karena penafsiran yang berlebihan ataupun karena berkepentingan tertentu.

Boleh dikata senyawa dengan kriminalisasi, kata viktimisasi memiliki unsur yang merujuk pada upaya sengaja menjerumuskan seseorang (ataupun institusi) pada situasi tidak menguntungkan atau merugi secara fisik maupun mental dalam berbagai aspek. Teori viktinologi pun berkembang tidak hanya pada ranah hukum tetapi juga HAM dan berbasis pada hubungan-hubungan sosial antar individu maupun institusi.

Beberapa hari belakangan ini kata kriminalisasi dan viktimisasi ini begitu dekat dengan kehidupan saya. Kedekatan itu terjadi sehubungan dengan peran pendampingan yang dikerjakan bersama dengan beberapa kawan aktivis perempuan di Ambon, terhadap 3 perempuan asal Kabupaten Kepulauan Aru. 

Ceritanya berawal dari perjumpaan antara ketiga perempuan korban dengan kawan Othe Patty (saya biasa memanggilnya Matu). Kepada Matu, ketiga kawan bercerita layaknya curhat sahabat tentang masalah serius yang sementara dihadapi. Pada intinya cerita atau curhat itu bertujuan meminta dukungan advokasi terhadap kasus yang sedang dihadapi. Mengetahui bahwa ini adalah jenis kasus yang baru, Matu kemudian meminta dukungan dari kami, kawan-kawan aktivisnya.

Di Sabtu sore tanggal 20 Juni 2015 Kami pun berjumpa dengan mereka yang lalu menceritakan seluruh hal ihwal peristiwa dan kejadian terkait pelanggaran yang dituduhkan kepada mereka. Kaget, marah, geram… itulah yang kami rasakan saat mendengar penuturan ketiganya.

Kasus hukum ini merebak dari penyelenggaraan MTQ tingkat Provinsi Maluku di Kota Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru pada bulan Mei 2011 yang lalu. Penyelenggaraannya berlangsung sukses. Akan tetapi tanpa disangka, satu tahun setelah pelaksanaan yang sukses itu, perempuan-perempuan yang telah menjadi bagian dari kesuksesan itu mesti berurusan dengan Aparat Penegak Hukum.

Adalah di bulan Maret 2012, sebuah LSM yang konon kabarnya dibentuk semata untuk kepentingan pemrosesan kasus ini, membuat laporan ke Polda Maluku, yang berbuntut pada diapnggilnya istri Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Kepulauan Aru saat itu yaitu ibu Henny Djabumona dipanggil oleh BARESKRIMSUS POLDA MALUKU untuk dimintai keterangan terkait indikasi penyalahgunaan anggaran Konsumsi MTQ ke-24 Tahun 2011. Dua perempuan lain pun terikut dalam proses hukum dimaksud. Mereka pun patuh menjalani proses, walaupun mereka dengan sepenuhnya menyakini bahwa tidak sedikitpun mereka melakukan tindakan-tindakan yang mengandung unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang 31 tahun 1999 junto Undang-undang 20 tahun 2001.

Setelah dilakukan telaah kasus, terkuaklah bagi kami bahwa tiga kawan perempuan Aru ini telah menjadi korban dendam politik dan ekonomi dari beberapa pejabat di Kabupaten Aru dan istri-istrinya. Satu kata yang tepat untuk mereka adalah terviktimisasi. Kebiasaan menguasai menajemen keuangan pada proyek dan perhelatan penting di daerah yang selalu memberikan keuntungan finansial bagi pejabat dan istri-istrinya itu menimbulkan kedengkian, karena dalam peneyelenggaraan MTQ ke 24 istri dari mereka tidak diberikan ruang untuk mengelola keuangan dan bahkan menarik diri dari keanggotaan panitia bidang Konsumsi. Inilah yang menjadi pendorong dilakukannya berbagai upaya untuk menjerumuskan ketiga perempuan korban ke dalam tuduhan dan hingga dakwaan melakukan tindak criminal atau yang dikenal sebagai kriminalisasi.

Saya tidak ingin mengulas panjang lebar tentang kronologis kasus itu, karena bukan demikian tujuan menuliskan artikel pendek ini. Saya hanya ingin mengungkap sebuah fakta yang sungguh miris, bahwa sementara kita lagi giat-giatnya memperjuangkan good governance bagi keadilan gender, kesetaraan peran laki-laki dan perempuan pada ruang public dan pemajuan peran perempuan dalam pembangunan di bumi seribu pulau ini, justru ada segelintir perempuan yang kebetulan suami mereka diberikan Tuhan kesempatan menjadi pejabat daerah, justru melakukan victimisasi dan kriminalisasi terhadap sesamanya perempuan.

Jabatan yang melahirkan kemampuan finansial dan kekuasaan menggiring kelompok perempuan tertentu melakukan apa yang dinamakan viktimisasi dan kriminalisasi terhadap kaum sesamanya. Tidak ada sedikitpun solidaritas, apalagi apresiasi terhadap sesama perempuan yang telah melakukan hal-hal baik bagi masyarakat dan daerahnya. Yang diperoleh malah viktimisasi dan kriminalisasi. Dendam dan kedengkian politik ekonomi telah menutup keluhuran nurani perempuan yang mestinya dimiliki oleh mereka yang tega melakukan kriminalisas dan victimisasi itu.

Perlakuan semena-mena yang dialami oleh 3 kawan perempuan Aru ini menjadi setangkup nila yang merusak citra solidaritas perempuan Maluku. Kasus ini semoga dapat menyentak nurani setiap perempuan Maluku untuk tidak melakukannya bagi siapapun, terutama perempuan.

Kita mestinya belajar dari filosofi Rahim, yang hanya dimiliki oleh perempuan. Rahim sebagai ruang dimana satu kehidupan baru dibentuk, dijaga dan dihadirkan ke dunia. Filosofinya sangat dalam dan sangat humanis. Filosofi ini mestinya menjadi inspirasi bagi perempuan Maluku, par laeng hormat laeng, laeng hargai laeng, laeng dukung laeng par kemajuan….miliki hati yang menghidupkan, bukan malah sebaliknya: mengorbankan atau malah mematikan.



Negeri Soya, Sabtu keempat Juni 2015






Rabu, 22 April 2015

Janji Hati Beta

(part 1)
What a long long long day. Sejak saya memberi kiss sayang pada si buah hati sebelum brangkat dari rumah di Ambon saat dia masih tertidur pulas, lalu lebih kurang 5 jam perjalanan dengan feri menuju Nusalaut, peninjauan proyek di Negeri Titawaai dan akhirnya kembali ke Rumah Tua di Abubu... saat senja mulai memudar....rasanya panjaaaang sekali hari ini.

Dan akhirnya saya bisa bercengkerama bersama sanak saudara di teras mungil penghias sudut depan rumah. Semilir sisa angin laut menyejukkan kegerahan tubuh. Temparaturnya turun bersama merambahnya malam. Tapi kehangatan cengkerama berisi topic-topik diskusi menarik menghalau dingin, menghangatkan hati,

Semua orang dewasa yang lalu lalang di depan rumah melepas sapa karib. Kadang kami tertawa melihat reaksi terkaget dengan kedatangan saya yang tiba-tiba. Tidak sedikit yang menghias sapanya dengan candaan rindu. Keramahan khas orang negeri. Orang-orangku terkasih!
Dari cengkerama ini saya jadi tahu berbagai perkembangan sosial yang terjadi di sini. Saya jadi tahu, generasi saya adalah ruling generation saat ini baik dalam pemerintahan negeri juga dalam institusi-institusi  adat. Saya pun mengetahui bagaimana pemerintahan yang kini didominasi generasi saya ini membuat perencanaan pembangunan negeri tahun ini. Yang juga menarik buat saya adalah informasi tentang peraturan-peraturan negeri yang dibuat oleh Bapak Raja (sebutan untuk kepala Desa  tradisional di Maluku). Protes dan omelan meresponi peraturan-peraturan itu bertaburan di atas penuturan yang seru. Mereka telah memiliki perspektif yang baik dan kritis.

Ada juga cerita tentang dusun-dusun yang tidak produktif dan malah ada yang kosong. Lalu dikaitkan dengan tantangan membesarkan anak cucu yang terus bertumbuh, bagaimana memberikan pendidikan yang layak, dan tantangan lainnya. Saya menyimak sambil mengagumi saudara-saudara saya ini. Mereka para pejuang kehidupan. Mereka sangat menginspirasi.

Saya sedikit tersentak dengan menangkap kesan adanya outoritarian dalam pemerintahan negeri dan tidak sensitifnya pemerintah negri terhadap kepentingan terbaik perempuan. Ahhh! Beta harus balik lagi nanti untuk mendalami informasi-informasi ini. Itu janji hati beta.

Malam bae basudara!

-----------------------

(part 2)
Saya melewati malam yang sangat tenang. Tenang yang sungguh hening. Tiada suara orang bercerita di jalanan depan rumah ataupun gonggongan anjing yang biasanya membuat telinga saya sakit dan memunculkan kekesalan karena susah tidur atau harus sering terjaga. Saya baru terjaga dengan kokokkan pertama ayam-ayam kampung.

Dari pembaringan sayup terdengar suara debur ombak yang pecah di tubir-tubir nahano, barisan karang separator daerah pasang dan surut. Tenangnya hatinya.  

"slamat pagi ina..." sapaan dari seorang perempuan paruh baya di sebelah rumah kepada saya, mengingatkan pada almarhumah ibu baptis saya. Harum aroma mintanggor menusuk rongga dada, terasa lapang. Segar sekujur tubuh.

Perempuan mulai sibuk dengan pekerjaan domestik sebagaimana rutinnya. Atas talud menjadi tempat mencuci alat makan dan dapur. Bocah-bocah sempatkan mengorek-ngorek karang mencari ikan kecil dan siput sebelum berangkat sekolah. Bertelanjang kaki tanpa takut tergores atau terluka. Anak - anak alam! Masa depan negeri!

Dulu, semasa kecil saya di sini, talud belum dibangun. Kami masih bebas duduk bersantai dan bermain di sepanjang pesisir pantai, saudara-saudara saya dari Holland bisa rebahan untuk sub bathing, hanya beberapa langkah di belakang dapur.

Sekarang tidak lagi. Saya bahkan tidak bisa lagi melihat putihnya pasir pantai. Apa boleh dikata. Kita tidak bisa mengelak dari dampak pembangunan tak berwawasan lingkungan.

Dari atas talud saya sampaikan pada alam negeri ini, selamat pagi Abubu. Semoga angin utara yang berputar dari arah Pohon Batu meneruskan sapa salam ku ke semesta negeri, ke hati para penduduk negeri ini yang telah memulai hari dengan cara mereka, di belakang-belakang dapur, di dusun-dusun, di bibir pantai, di meti, di penjuru kampung tercinta.

Satu dua jam lagi beta harus bilang amato voor samua. Maar ini janji hati beta: beta pasti bale!




Negeri Kakerisa Amapatti, 15 April 2015  

Senin, 20 April 2015

Gemuruh di Atas Feri Samandar menuju Nusalaut

Dunia sedemikian berkembang, hingga saat ini orang punya banyak alternatif untuk membuat perjalanan antar pulau. Pemikiran itulah yang pertama kali muncul di benak saya begitu mengayuhkan langkah masuk Feri Samandar ini. Maklum, ini pertama kalinya saya menggunakan feri untuk menuju Pulau Nusalaut.

Saya terbilang terlambat menikmati perkembangan transportasi antar pulau di Prpinsi Maluku ini, dibandingkan ayah dan semua adik-adik saya yang sudah sangat sering. Dari mereka saya mendengar cerita bahwa perjalanan dengan feri melelahkan dan membosankan karena waktu tempuhnya yang lebih lama dibandingkan dengan Kapal Motor ataupun Speed Boat. Makanya begitu saya harus mengejar feri ini karena terlambat mengejar Speed Boat ke Negeri Titawaai (salah satu dari 7 negeri di Pulau Nusalaut), kelelahan sudah lebih dulu datang menyerang. Namun ternyata, sejam lebih sudah duduk di sini, I feel okay. Saya begitu menikmati perjalanan ini.

----------------


Pelabuhan Negeri Kulur, Pulau Saparua
Kami baru saja menyinggahi pelabuhan feri Negeri Kulur di Pulau Saparua. Saya baru saja menikmati bagaimana uletnya orang-orang muda dari Negeri Kulur ini yang menjajahkan makan siang dalam kemasan sederhana kepada penumpang feri. Nasi Ikan Telur, kami biasa menamainya sesuai isi kemasan. Penumpang seperti saya yang tidak membawa bekal makan siang tentu dangat terbantu. Di antara para penjual makanan ini, ada yang mengagetkan saya yaitu seorang laki-laki, masih muda, sepertinya belum berusia 40an. Ternyata yang menjajahkan makanan di sini bukan hanya perempuan. Laki-laki juga.

Kalau kita lihat di tempat lain, misalnya Kapal Cepat yang melayari Ambon – Masohi atau Kapal Feri Hunimua – Waipirit, dimana penduduk lokal setempat mengkreasikan upaya-upaya ekonomi bagi keluarga dari pelayaran antar pulau yang masuk di negerinya, terlihat ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki bekerja sebagai buruh (pengangkat) barang sedangkan kaum perempuan berperan sebagai penjajah makanan dan minuman. Pemandangan berbeda saya temui di Kapal Feri ini saat menyinggahi Negeri Kulur. Menurut Anak Buah Kapal (ABK) Feri ini, memang demikian di Kulur, laki-laki juga ikut menggeluti sektor ini. Saya sempat mengajak ngobrol salah seorang pemuda yang menawarkan makanan jualannya kepada saya. Saya memulainya dengan bertanya dengan nada sedikit bercanda: “kenapa bukan maitua yang menjual?” (maitua = istri). “maitua yang mamasa kasih siap, habis itu dia urus kacil di rumah, beta yang jual”, jawab pemuda itu dengan lugasnya.  (maksud pemuda itu: istrinya yang memasak dan menyiapkan makanan, setelah itu istrinya mengurus anak mereka, dialah berjualan ke Feri). Menurutnya, itu kesepakatan mereka. salut sama si abang ini.

Menyepakati pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dipraktekkan di sana. Padahal, mungkin saja, mereka tidak pernah belajar tentang gender justice. Luar biasa. Dan yang lebih membuat saya kagum lagi adalah kerelaan sang pemuda untuk berjualan, di antara sekian banyak perempuan. Hal yang tidak lazim bagi para lelaki Maluku (atau paling tidak Maluku Tengah). Saya masih ingin ngobrol lagi dengan sang bapak inspiratif itu, namun pluit kapal ini sudah lebih dulu berbunyi menandakan kapal akan segera meninggalkan Negeri Kulur. Mudah-mudahan bisa bertemu dia lagi dalam perjalanan saya berikutnya.

Sekali lagi, saya sangat menikmati perjalanan ini. Mungkin karena ada lappy ini yang membantu saya menghabiskan sebagian waktu dengan ketik – kutak menulis cerita ini; atau mungkin juga ada kamera Canon yang saya beli dari Media Mart di Utrecht – Holland tahun 2004 tetapi sampai sekarang masih mantap dipakai dan saat ini pun sekali-kali saya sibuk jepret sana – sini menyibukan diri dan mengabadikan pengalaman perjalanan ini. Atau mungkin karena ada Stacey, Presley dan Yandri dari Yayasan Titamae yang bersama saya dan sekali-kali mengajak ngobrol. Atau juga karena di sini ada lebih dari 40 mahasiswa UNPATTI, almamater saya, yang sekali-kali saling canda antara mereka dan membuat kami penumpang lain pun keciprat terhibur dengan candaan mereka.

Oh iya. 40 Mahasiswa ini menuju Kota Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah di Pulau Seram. Mereka akan menjalani masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di berbagai desa di Masohi. Menuju ke lokasi KKN ini mereka ditemani beberapa dosen pembimbing atau instruktur. Semua mereka datang dengan mengendarai sepeda motor. Ada yang membawa motor punya sendirri, ada boncengan dengan teman. Bagi saya, mereka cukup cerdas memanfaatkan kemajuan pembangunan transportasi antar pulau yang saya maksudkan di atas. Sebetulnya ada juga jalur lintas pulau Seram yang bisa mereka tempuh dengan mengendarai Sepeda Motor dan dengan menumpangi Kapal Feri juga, yaitu dari Pelabuhan Hunimua ke Waipirit. Tetapi perjalanan lintas darat itu tentu lebih melelahkan dibandingkan lintas laut, dengan perbedaan waktu yang tidak begitu jauh. Ide yang sangat cemerlang.

Dibandingkan dengan masa saya KKN di pertengahan 1990an, adik-adik ini jauh lebih well-facilitated oleh kemajuan zaman. Lokasi KKN saya juga di Pulau Seram. Kami diantar oleh instruktur dengan menumpang kapal tua Los Angles yang butuh waktu lebih dari 3 jam untuk masuk pelabuhan Amahai dari Pelabuhan Tulehu. Begitulah zaman yang rodanya terus berputar maju dan maju.

------------------


Pulau Anyo-anyo dari jauh
Pulau Anyo-anyo (sebutan untuk Pulau Nusalaut) mulai membayang di kejauhan. Pikiran saya mulai terasa sesak dengan bermunculnannya berbagai kenangan.

Di pulau sana saya pernah menghabiskan kurang lebih setahun dari masa kecil saya. Ketika itu keluarga saya pindah dari Merauke (Papua) ke Elat (Kei Besar – Maluku Tenggara) dan dalam masa transisi kepindahan itu, saya mesti bersekolah sementara waktu di Abubu, sambil menunggu ayah dan ibu saya menyiapkan segala sesuatunya di Elat. Ketika itu saya duduk di bangku kelas V SD. Walau tak sampai setahun, saya sempat mengumpulkan pengalaman yang luar biasa mengikuti beberapa lomba antar sekolah se Pulau Nusalaut dan kegiatan-kegiatan gereja dari negeri ke negeri.

Saya pernah punya kenangan manis masa kecil di Ameth, yaitu terpilih mewakili SD Negeri Abubu untuk ikut perayaan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei se Pulau Nusalaut. Kami berkemah di lapangan Ameth selama seminggu. Di masa kecil itu juga saya beberapa kali ikut kebaktian Sekolah Minggu antar jemaat yang dinamai Kring. Titawaai, lebih sering lagi saya kunjungi karena di sana ada almarhum ayah baptis saya.  Beberapa kali ron pulu (berjalan mengitari pulau), belajar mengenal tiap negeri walau tidak mendalam. Apakabar negeri-negeri ini sekarang??? Apakabar pulau yang secara adminsitratif pemerintahan telah menjadi satu kecamatan lepas dari Saparua ini???

Saya bisa punya gelar sarjana dari Ambon dan master dari luar negeri… itu juga karena saya pernah mengeyam pendidikan di sana, belajar berbagai hal dari negeri ke negeri. Di sana ada banyak kenangan…. bermain di Ume, keku pakiang di loyang for cuci di aer utang basar, cari kenari di Ula, petik bunga cengkeh di dusun-dusun milik ayah pada musimnya….dan lainnya. Ada kenangan bersama almarhum Opa Sau dan Opa Olof, dan orang tatua basudara lainnya. Sebentar lagi saya akan jumpa dengan orang tatua, basudara dan kawan-kawan masa kecil yang memilih tinggal di negeri menjaga warisan leluhur. Setelah remaja dan dewasa beberapa kali pulang juga ke sana. Kepulangan kali ini tentu berbeda. Akankah lahir di sana, komitmen-komitmen baru….entahlah.

----------------

Ahhhhhhh….!!!!! Pulau Anyo-anyo mulai tampak jelas dari balik jendela ruang VIP Feri (KMP) Samandar ini. Beberapa menit lagi saya tiba di sana. Dada terasa kian bergemuruh, berbanding terbalik dengan keadaan alam saat ini yang sungguh amat tenang. Saya akan singgah di Negeri Ameth, kemudian menumpang ojek menuju Titawaai. Saya akan ambil jalur Akoon agar bisa mampir sebentar di Abubu, negeri asal beta

Gemuruh di dada makin menjadi karena sebentar lagi… pertama kali setelah lebih dari 10 tahun tidak ke sana….!




Muka Pulau Anyo-anyo, 14 April 2015

Selasa, 10 Maret 2015

Menganyam Asa dan Tekad untuk Perempuan Maluku

(Lusi Peilouw, Sebuah prosa pengiring prosesi penyalaan candle of hope di Malam Solidaritas, IWD 2015, 9 Maret 2015; ditutup dengan doa oleh 2 Perempuan: ulama Muslim dan Kristen)

Perempuan tercipta untuk hidup berpendampingan dengan laki-laki... di tempatkan sebagai mitra sejajar laki-laki di bumi yang satu...
Perempuan diberi amanah dari sang Pencipta sebagai pembawa kehidupan, menghadirkan kehidupan-kehidupan baru di bumi, lalu bersama dengan laki-laki diamanatkan merawat kehidupan dalam semangat kemitraan dan kesetaraan... setara dalam pemenuhan dan penikmatan hak asasi...

Peradaban kemudian membongkar-bangkir amanat mulia itu....

Perempuan menjadi makluk nomor dua,

Jadilah penindasan berkedok kodrati…,

Pemasungan kebebasan atas nama martabat dan kehormatan,  kriminalisasi dan eksploitasi tubuh atas nama pengabdian bagi keluarga, terbelenggu kemiskinan dan terlindas kemajuan zaman atas nama kodrat, pemerkosaan demi nafsu bejad....,

Perempuan Maluku... tidak sedikit yang jadi korban kekejaman peradaban itu!

Ratusan perempuan dan anak perempuan menanggung derita tindak kekerasan dalam rumah tangga...
Pembantu Rumah Tangga menjalani keras perjuangan di balik kebengisan majikan
Perempuan-perempuan yang tak mampu benyawa, malah bergerak bak robot dalam ruang-ruang publik dan politik,
Perempuan-perempuan adat di pulau Aru, Romang, Seram dan pulau-pulau lain dalam perjuangan mempertahankan wilayah petuanan sumber penghidupan, mereka yang cuma bisa pasrah menerima masuknya industry ekstraktif,
Perempuan di pulau-pulau kecil yang jauh dengan tantangan keterisolasian, yang harus kehilangan bayi bahkan kehilangan nyawaya sendiri karena ketiadaan pertolongan saat bersalin, kehilangan harapan hidup lebih baik karena ketiadaan layanan pendidikan,
Perempuan-perempuan adat di Seram dan Buru dalam belenggu keterbelakangan,
Perempuan-perempuan dengan HIV/AIDS tanpa dukungan,
Perempuan usia belia yang harus terhimpit persoalan rumahtangga karena kawin paksa atas nama budaya ataupun kepentingan ekonomi,

Dan masih begitu banyak realita penindasan hak-hak asasi sesama kita di negeri seribu pulau ini, helai-helai realita beraroma budaya, sosial, ekonomi dan politik,
ta’karuan dan kusut melilit sang zaman,

Malam ini, di momentum peringatan Hari Perempuan Internasional ini, saatnya kita mengurai satu per satu benang kusut itu...

Kita harus bangkit...  bantu sesama kita untuk keluar dari kekelaman penindasan
Beri cahaya...agar terhalau kekelaman itu.

Genggam lilin di tangan kanan.... nyalakan... berikan cahaya ke sekitarmu

Tatap cahaya lilin di tanganmu dalam-dalam... sambil lafalkan setiap asa... urai setiap asa itu ke semesta
Tutup matamu, bayangkan perempuan di laur sana yang dalam kekelaman…. lafalkan sebuah tekad untuk mereka, untuk kita....
Bergerak... saling mendukung... untuk pembebasan asasi... untuk keadilan dan kedamaian hidup perempuan... bulatkan tekad itu dalam dirimu...
Perempuan Maluku harus bebas dari segala bentuk kekerasan di dalam rumah tangganya, di tempat kerjanya, di ruang-ruang publik.... perempuan Maluku mesti menikmati akses  pelayanan sosial dan ekonomi dalam keadilan hakiki, mengakses posisi-posisi publik dalam kesetaraan

Yakinlah... alam raya semesta ini tergugah dengan desah lafal asa dan tekad kita... semesta alam ini akan mengayam dengan rapi satu per satu helai asa dan tekad kita semua...

dan sekarang... mari satukan hati...sekali lagi lafalkan asa dan tekadmu,
tetapi kali ini, lafalkanlah untuk Sang Pencipta, Sang Maha Pencipta laki-laki dan perempuan...
mari berdoa untuk perempuan Maluku....


Selasa, 03 Maret 2015

Kemajuan Besar di Provinsi Maluku Jelang Hari Perempuan Internasional 2015


Tahun 2015 adalah tahun harapan perubahan bagi perempuan Maluku. Hal ini ditandai setidaknya dengan dua momentum. Yang pertama adalah terlaksananya sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak pada awal Februari  lalu. Pelaksanaan sosialisasi itu disambut antusias oleh komunitas pegiat hak perempuan di Kota Ambon. Pasalnya, kegiatan dimaksud telah ditunggu selama lebih dari dua tahun  terhitung sejak DPRD Propinsi Maluku periode 2009-2014 mengetuk palu pengesahannya pada Desember 2012 lalu.

Antusiame para aktivis perempuan itu dipicu terutama oleh kenangan perjuangan mengawal hadirnya Perda yang kontekstual sesuai kebutuhan penanganan korban Kekerasan Terhadap Perempuan yang dimulai sejak 2007. Hadirnya Perda yang sangat kontekstual itu merupakan hasil perjuangan panjang perempuan Maluku, terutama dalam memperjuangkan terakomodirnya pasal-pasal yang terkait dengan kebutuhan penanganan korban berbasis komunitas, melengkapi usulan pihak legislatif yang  ketika itu tidak sedikitpun menjawab kebutuhan penanganan korban secara komprehensif. Perjuangan lainnya adalah untuk menghilangkan pasal terkait sanksi yang menurut kalangan aktivis hanya akan mereduksi hakikat penghukuman bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan. Terkenang bagaimana  kerasnya pengawalan melalui loby-loby yang dibangun dengan para anggota Badan Legislatif (BALEG), komunikasi dengan anggota BALEG ketika mengawal  pleno paripurna, serta berbagai bentuk gerakan lainnya yang dibangun.

Perjuangan mengawal hadirnya Perda yang kontekstual itu sudah tinggal sebagai sejarah. Tetapi perjuangan   aktivis perempuan belum berakhir. Kami akan terus berjuang mengawal implementasinya oleh pemerintah. Sebagaimana kesepakatan yang dibangun antara pihak eksekutif dan aktivis perempuan setelah pengesahan Perda, Pemerintah sebagai eksekutor Perda selanjutnya mesti menyiapkan Standar Operasional yang dituangkan dalam bentuk regulasi derifatif lainnya dari Perda yang akan memberi arah teknis implementasinya.

Momentum kedua yang menurut saya merupakan sebuah kemajuan spektakuler, yaitu terbentuknya sebuah institusi  baru di lingkup pemerintah Propinsi Maluku untuk kepentingan perempuan yaitu Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (selanjutnya dalam rilis ini saya sebut saja “Badan”). Kami perlu menyampaikan apresiasi kepada Gubernur Maluku yang telah merealisasikan komitmennya untuk memperkuat upaya perlindungan dan penikmatan hak-hak asasi perempuan di Maluku.

Mungkin tidak banyak oang mengetahui bahwa awal bulan Maret setiap tahunnya adalah momentum penting bagi peremuan dunia, berkenaan dengan International Woman Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional yang jatuh di tanggal 8 Maret. Melembaganya Badan secara de facto di awal Maret ini menambah antusiasme perayaan IWD tahun ini. Bagi aktivis perempuan, momentum-momentum penting menjelang IWD 2015 ini membuka sejarah baru bagi pergerakan perempuan dan tentu bagi pembangunan masyarakat Maluku secara lebih luas.

Sekalipun merupakan institusi pemerintah, dan apalagi saat ini dipimpin oleh seorang laki-laki, saya cukup optimis bahwa dengan jaringan yang selama ini telah terbangun dengan komunitas aktivis perempuan di daerah ini, Badan akan memiliki warna yang berbeda dengan institusi pemerintah lainnya yang notabene sangat maskulin dalam kebijakan dan penerapan politik birokrasi. Instrumen-instrumen hukum baik yang berlaku secara universal seperti Convention on Elimination of Violence Against Women (CEDAW), Convention on the Right of the Child (CRC)  hendaknya selalu dipakai sebagai framework dalam pengambilan kebijakan. Oleh karenanya tantangan terbesar bagi Badan ini adalah bagaimana memiliki sensitifitas terhadap kebutuhan kesetaraan dan keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan jender dengan berbagai persoalannya yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Realita makin maraknya kasus kekerasan berbasis jender dan berbasis ketimpangan kekuatan atau kekuasaan seperti kejahatan seksual perlu menjadi perhatian. Komunitas aktivis perempuan di Maluku berkomitmen memberikan dukungan penuh bagi Badan, terutama untuk menjamin pengarusutamaan kepentingan perempuan Maluku dalam setiap kebijakan dan program kerja badan ke depan.

Pekerjaan utama yang mesti dilakukan segera oleh Kepala Badan adalah mengevaluasi Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Propinsi Maluku, yang selama ini belum maksimal menjalankan fungsi dan amanahnya sebagai kepanjangan tangan pemerintah menangani kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA), karena berbagai kendala. Hadirnya badan  diharapkan dapat memperbaiki dan mengoptimalkan fungsi dan peran P2TPA, sehingga upaya penanganan yang dilakukan secara parsial oleh lembaga-lembaga layanan dapat disinergikan. Dalam semangat sinergitas itu, P2TPA mesti didesain ulang untuk menjadi rumah bersama seluruh entitas pegiat layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di daerah ini. Dengan begitu, Perda Nomor 2 tahun 2012 dapat diimplementasikan secara lebih maksimal.

Intervensi terhadap P2TPA akan membuka jalan masuk ke wilayah-wilayah persoalan yang lain dari Perempuan Maluku. Sebut saja persoalan perempuan dengan beban HIV/AIDS, perempuan dalam lingkaran setan eksploitasi ekonomi, perempuan adat dengan tantangan-tantangan marginalitasnya, kerawanan politisisasi perempuan, perempuan dalam konflik komunitas, vulnerability perempuan pada posisi public seperti pengelola adminstrasi/keuangan publik dan deretan persoalan lainnya.

Dua kemajuan di awal perayaan Hari Perempuan Internasional tahun 2015 ini kiranya menjadi titik awal terjadinya perubahan yang lebih spektakuler lagi ke depannya; secara khusus, saya berharap perempuan Maluku akan benar-benar merasakan signifikansi dari hadirnya Badan Pemberdayaan Perempuan Propinsi Maluku. semoga!