Peradaban manusia
mengalami evolusi melintasi ruang dan waktu yang cukup panjang, membentuk
sebuah sejarah yang diyakini menjadi pedoman bagi pemiliknya untuk menata hidup
di masa kini (kekinian) dan masa yang akan datang (keakanan). Dari sejarah
orang belajar tentang apa yang harus dihindari dan apa yang mesti
dipertahankan, menjadi pedoman membangun kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana
Theodore Rosevelt mengatakan “the more yo know about the past, the better
prepared you are for the future”. Begitulah pentingnya sebuah sejarah. Saya
tidak bermaksud menguraikan sejarah negeri Tananahu di sini. Akan tetapi catatan
ini saya buat sebagai untuk merefleksikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung
di dalam sejarah dan terungkap pada proses pendokumentasian yang sementara
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Negeri Tananahu.
Tananahu adalah
sebuah negeri adat yang terletak di pesisir Teluk Elpaputih, Kabupaten Maluku
Tengah. Saat ini dipimpin oleh seorang Ina Latu yang juga baru saja terpilih
menjadi ketua Majelis Latupati Maluku Tengah. Saya mengenal negeri ini sejak 20
tahun lalu, ketika masih menjadi Mahasiswa Unpati, Ambon. Awal bulan ini saya
berkesempatan berkunjung ke sana dan menemukan keadaan yang jauh berbeda dari 20
tahun lalu. Negeri ini berkembang cukup pesat, setidaknya terlihat dari jumlah
anak negerinya yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, dan capaian pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Yang paling menarik buat saya adalah kesadaran
pemerintah negeri dan masyarakat untuk mendokumentasikan cerita dan nilai-nilai
historis mereka.
Sejalan dengan
pikiran Rosevelt, masyarakat Tananahu saat ini sadar sungguh akan pentingnya pendokumentasian
sejarah negeri, sebagai persiapan untuk masa depan. Sejarah hidup para leluhur Tananahu
dituturkan dari generasi ke generasi, lewat cerita-cerita orang tua ke anak, Tete dan Nene ke cucu-cucu. Penuturan dari generasi ke generasi itu tentu
memiliki kerawanan untuk mengalami pembiasan, yang mungkin saja lahir dari
berbagai kreativitas dan interpretasi. “Kami, orang tua di zaman ini, ingin
mendokumentasikan cerita-cerita itu secara tertulis, untuk menjadi sumber
pengetahuan bagi anak – cucu, supaya anak cucu ini mengenal sejarah negerinya
dari sumber yang satu” kata beberapa tokoh masyarakat Tananahu ketika mulai
mendiskusikan penulisan sejarah negeri mereka. Menurut saya ini ide yang sangat
luar biasa cemerlang dan menunjukan niat hati yang kuat untuk memelihara bukan
hanya story tetapi terutama history.
Membaca draft buku
sejarah, saya terkesima dengan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di
dalammya, yang lahir dari kearifan para leluhur membangun dan mempertahankan
kehidupan. Sampailah saya pada satu titik simpul, bahwa pendokumentasian ini sesungguhnya
tidak hanya sekedar mencatatkan sejarah dan budaya. Mereka mencapai lebih dari
itu, yaitu mendokumentasikan nilai-nilai kehidupan sebagai bekal bagi
anak-cucu.
Saat ini, Negeri
Tananahu terdiri dari 4 soa yaitu Soa Tananahu, Soa Apisano, Soa Awaya dan Soa
Hilatesia. Nenek moyang mereka berasal dari beberapa tempat di Pulau Seram,
antara lain dari Latea dan Huamual. Mereka harus keluar dari negeri lama mereka
masing-masing karena ingin meyelamatkan diri dari perang antar suku yang marak
pada zaman itu. Ini menggambarkan penghargaan dan tanggung jawab atas hidup.
Pola pergerakan keluar mencari tempat tinggal baru secara berkelompok
menggambarkan kesatuan hati yang menjadi modal hidup bermasyarakat.
Selanjutnya, dalam
kisah hidup sejak ditemukannya puncak Koli-Kolia hingga berakhir di Pesisir
Pantai Teluk Elpaputih, dan ada juga tete nene moyang yang tidak melewati
Koli-Kolia namun langsung menuju pesisir dari asal yang sama, Huamual, sarat
dengan pola-pola pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan yang sangat arif.
Terpotret juga disana
satu gambaran kematangan leluhur Tananahu dalam membangun satu kesatuan
masyarakat dan bersosialisasi. Kematangan itu terlihat dari pengaturan
pemerintahan sejak turun dan menyatu ke pesisir, apalagi setelah intervensi
penjajah masuk dengan berbagai dampaknya bagi penderitaan rakyat.
Ketika masuk
penjajahan, masyarakat sangat menderita, terutama dengan tak-tik penguasaan
wilayah yang tidak manusiawi yaitu dengan membumihangusan kampong ataupun mengusir
tuan tanah dari tanahnya secara paksa. Ketika orang Apisano diusir oleh
Jepang, kampong Rumalait dibakar atas perintah Tuan Wengkel (orang Belanda) dan
orang Awaya diusir oleh Belanda, Tananahu menjadi tempat dimana mereka
mendapatkan perlindungan dan mendapatkan lokasi pemukiman baru. Hal ini
merupakan manifestasi dari solidaritas kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya.
Proses kepemimpinan
dan pemerintahan yang mengalami adaptasi dengan perkembangan sosial
kemasyarakatan dari setiap soa atau kampong (Tananahu, Apisano, Awaya dan
Hilatesia), pun menarik untuk disimak. Dimulai dari kepemimpinan secara mandiri
di setiap kampong, kemudian Apisano dan Tananahu menyatu dengan pusat
pemerintahan berada di wilayah Apisano. Selang beberapa waktu, dengan pengusiran
oleh Belanda, orang Awaya bergabung dan masuk dalam pemerintahan Tananahu di
Apisano. Setelah itu Hitalesia masuk pula bergabung. Setiap penggabungan
terjadi secara natural berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara pemimpin
kampong. Hingga pada tahun 1948, Pemerintahan yang terpusat di Apisano kemudian
dipindahkan ke Kampong Tananahu.
Pola perubahan sistim
pemerintahan yang sangat unik dipraktekkan oleh keempat negeri di sana. Mereka
mungkin secara genealogi berbeda, tetapi sejarah perjuangan mempertahankan
hidup di tanah yang menurut mereka baik untuk membangun kehidupan menjadi
perekat dan pengikat hubungan sosiologis. Merger demi merger (bukan pemekaran
demi pemekaran), dan kemudian pengalihan pusat pemerintahan yang semuanya terjadi
hanya atas kesepakatan politik yang berbasis pada kearifan dan kebijaksanaan
para leluhur dan pendahulu.
Mereka bukan lagi
empat, tetapi satu Negeri adat yang berdaulat atas tanah wilayah petuanan yang
membentang dari batang Gunung Lumute di utara hingga Laut Elpaputih di selatan,
dari Kali Ruwisi di timur hingga kali Eleuw di barat. Sistim pemerintahan
dikelola secara demokratis diantara keempat soa.
Para leluhur
meninggalkan pelajaran hidup orang basudara yang sangat berharga. Walaupun
datang dari asal yang berbeda, Latea dan Huamual dan mungkin dari daerah
lainnya juga, namun keterikatan kasih persaudaraan yang telah dibangun oleh
para leluhur telah membentuk sebuah masyarakat Tananahu yang kuat secara
historis, sosial dan pemerintahan, dengan didukung oleh kekayaan kearifan
budaya maupun sumberdaya alam yang sungguh kaya. Semua ini perlu dijaga untuk
diwariskan kepada anak-cucu yang akan meneruskan kehidupan dan peradaban orang
Tananahu ke masa yang akan datang.
Bila masyarakat telah
memiliki kesadaran itu, seyogianya pemerintah tinggal mendukung pelestarian
sejarah, budaya dan sistim sosial yang telah dibangun dan akan terus
dipelihara. Bukankah itu kewajiban negara dalam kerangka pikir treaty-treaty
internasional terkait dengan hak-hak sipil, hak ekonomi sosial dan budaya? Alangkah naifnya jika pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan atas pembangunan dan kepentingan apapun yang malah menghancurkan tatanan sosial budaya yang ada yang dengan sendirinya melecehkan nilai-nilai hidup yang terkandung didalamnya, menghancurkan harapan hidup rakyatnya ke masa depan yang lebih baik di tanah pusaka nenek moyangnya.